Bulan Mei 2013 lalu, saya mendapat tugas ke Pakistan untuk memantau pemilu parlemen Pakistan. Seperti biasa, sebelum berangkat saya browsing dulu pakaian yang biasa digunakan di sebuah negara, supaya tidak "saltum" alias salah kostum. Maklum, penugasan di negara-negara yang mayoritas Islam memiliki kekhususan tersendiri untuk pakaian untuk pemantau pemilu yang perempuan. Kalau pemantau yang laki-laki gak repot, asal jangan pakai T-shirt dan celana pendek, aman.
Akhirnya didapatlah nama "shalwar kameez" atau "shilwar kameez". Cantik-cantik, tapi saya tidak suka, karena baju yang ditampilkan baju yang feminin banget dan fancy. Saya kan di sana untuk bekerja dan pasti ke sana kemari termasuk akan wawancara orang di jalanan, jadi tidak mungkin saya memakai baju yang fancy. Jadi saya memutuskan untuk membelinya ketika sudah berada di Pakistan saja. Saya membawa beberapa baju yang panjangnya selutut dan berlengan panjang.
Penugasan saya di Lahore, provinsi Punjab. Sebenarnya saya yang minta pada panitia (the Core Team) karena saya dengar kota Lahore cantik sekali. Acara cukup padat sehingga saya belum sempat melihat-lihat shilwar kameez apalagi membelinya. Suatu hari di hotel saya lihat ada bazaar, wah langsung masuk dong, karena baju yang dipajang keren-keren. Tapiiii, hotel saya adalah hotel bintang lima, jadi pasti mahal. Hati bimbang antara keinginan memiliki shilwar kameez dan harga yang mahal. Kebetulan ada undangan pesta dari Konsulat Jenderal AS di Lahore, jadi kayaknya harus membeli deh. Tutup mata aja deh dengan harga yang mahal. Nah, ini dia baju yang saya beli dan pakai untuk menghadiri pesta tersebut. Cantik kan.
|
Miss Indonesia dan miss Pakistan sebelum menghadiri pesta di Konjen AS di Lahore, Pakistan.
Lokasi: Hotel Pearl Intercontinental, Lahore, Pakistan. May 2013 |
Ada teman Indonesia yang bertanya, kenapa saya tidak menggunakan batik atau tenunan Indonesia. Ya, seperti saya sebutkan di awal, saya tidak tahu apa itu shilwar kameez dan di mana membelinya di Jakarta. Shilwar kameez adalah blus panjang dengan belahan mulai dari pinggul. Jadi di Indonesia sebenarnya ada juga baju seperti ini, hanya biasanya blusnya sepanjang paha atau sekedar menutupi pinggul saja. Kata kameez mirip dengan kata gamis yang umum orang Indonesia gunakan.
Shilwar kameez yang saya gunakan berbahan katun, bahan favorit saya. Hiasan di bagian dada merupakan tenunan Sindh, salah satu daerah sekaligus tribe (suku) di Pakistan dan Afghanistan. Ketika saya memakainya, banyak orang Pakistan yang menoleh dan senyum-senyum. Oh ya, warna coklat dan krem merupakan warna favorit saya. Jadi pilihan pada baju ini merupakan cinta pada pandangan pertama, he he he. Begitu lihat, tidak mau berpaling. Harganya hampir 3000 rupee (kalau gak salah) setara dengan Rp 300 ribu. Harga tersebut sekaligus untuk menjahit blus. Saya tidak mau menjahit celana panjang pasangan shilwar kameez tersebut, karena pertama, saya tidak suka memakai celana bahan, saya lebih suka memakai jeans atau jika celana bahan saya punya merek favorit tersendiri. Kedua, model celana panjang di sana gak oke.
Baju ini saya beli dalam bentuk bahan, jadi saya menjahitnya di sana. Si auntie yang berjualan bahan ini, berjanji akan menyelesaikannya dalam dua hari. Dan taraaaa, bajunya selesai seperti yang dijanjikan, tanpa mengukur badan saya pula. Saya hanya mencoba satu baju di standnya, yang berukuran M dan pas dengan saya, seolah bajunya dibuat khusus untuk saya, ha ha ha. Sebelum pergi ke Konjen AS, saya ke standnya, dan menunjukkan betapa pas baju tersebut dengan saya. Pedagang yang lain juga memuji, si auntie yang pas banget menjahitnya dan saya yang pas banget memakainya. Bukannya memuji diri sendiri, tapi banyak bule yang bertugas di pemilu Pakistan kemarin, membeli juga shilwar kameez meski hanya blusnya saja, tapi ketika dipakai, gak pas dilihatnya. Bukan tidak pas di ukurannya, tapi gak pas saja dilihatnya.
Beberapa hari kemudian, tekanan kerja agak berkurang sehingga kami punya waktu untuk mencari kebutuhan kami. Saya berniat memakai shilwar kameez saat hari pemungutan suara, dan penerjemah saya mebutuhkan sepatu yang nyaman untuk hari itu. Kami ke sebuah kompleks perbelanjaan yang cukup besar seperti daerah Blok M, tapi tempatnya lengang dan bersih sekali. Satu persatu toko kami masuki akhirnya saya menemukan shilwar kameez ini. Cantik juga, kan.
|
Di The Monal Restaurant saat farewell lunch. Restoran terletak di atas bukit yang mengeliling Islamabad. |
Saya suka warna putih, karena membuat saya pede. Saya perlu warna merah karena membuat saya cerah dan semangat tentunya. Pagi hari pemungutan suara begitu dari keluar dari kamar hotel, tamu dan pegawai hotel mengatakan, "Ma'am, you look like Pakistani woman." Jelas, senang banget dong. Penerjemah saya bilang, ketika saya mencoba baju ini di toko, "you look smart with this shilwar kameez". ho ho ho, belum tau dia, kalau saya smart beneran (gak ada yang muji, jadi muji sendiri lah)
Yang menarik dari shilwar kameez adalah orang Pakistan sangat pintar memadukan warna antara blus, celana panjang dengan selendangnya. Selendangnya disebut dengan dupatta. Semua shilwar kameez yang dipajang di hampir semua toko di sana begitu serasi warnanya. Hanya harganya yang gak murah, iyalah, bajunya bermeter-meter termasuk dupattanya.
Pola shilwar kameez sedang saya buat. Karena banyak banget laporan yang mesti saya buat....